BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sekarang, masyarakat islam banyak sekali
yang tidak tahu tentang Tawassul. Secara umumnya tawassul berarti mengambil
sesuatu sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan perantara
untuk mendapat keridhaannya.Tawassul biasanya berkait dengan doa, dimana
seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara supaya doanya
dikabulkan oleh Allah SWT.
Sungguhpun ukuran ketakwaan hati seorang
hamba hanya Allah yang dapat mengetahui, tetapi seorang hamba wajib berusaha
mencapai dengan semampunya. Oleh karena itu, ibadah itu harus dilaksanakan
dengan benar dan ikhlas semata-mata karena Allah Hanya mengharapkan ridlaNya.
Artinya dilaksanakan secara utuh dan total, baik lahir maupun batin,
semata-mata sebagai perwujudan pengabdian yang hakiki kepadaNya. Ibadah juga
merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya, untuk
mencurahkan kerinduan yang membara, melahirkan rasa syukur atas segala
kenikmatan dan anugerah yang sudah diterima, memohon ampun atas segala dosa dan
bertaubat dengan taubatan nasuha. Secara lahiriah ibadah itu dilaksanakan
dengan menyatukan antara dua indera lahir, yaitu kemauan emosional dan kemampuan
rasional yang di dalam istilah agama disebut bashoro, dan secara batiniah
dilaksanakan dengan indera batin, yakni dengan pancaran spiritual yang disebut
bashiroh. Secara qudroti, ketiga indera tersebut merupakan perangkat
(instrumen) kehidupan manusia yang sesungguhnya memiliki pancaran kehidupan
yang berbeda serta sulit dipersatukan, namun dengan pengendalian kekuatan
rasional dan didukung penguasaan ilmu pengetahuan secara tepat dan benar serta
latihan yang terbimbing, masing-masing perangkat tersebut harus menjadi satu
dan menyatu di dalam pelaksanaan sebuah ibadah.
Manakala ketiga perangkat kehidupan
manusia yang disebutkan di atas (emosionalitas, rasionalitas dan spiritualitas)
tidak dapat disatukan dalam kesatuan ibadah yang sedang dilakukan, maka bisa
jadi salah satunya atau bahkan ketiga-tiganya akan dijadikan sarana setan untuk
masuk ke dalam hati seorang hamba, dengan sarana tersebut setan bisa
membelokkan arah dan tujuan ibadah. Untuk mencapai tujuan tersebut para Ulama‘
ahlinya, sebagai guru-guru ruhaniah (Mursyid), mengajarkan para murid-murid dan
para salik di jalan Allah untuk
melaksanakan Tawasul, baik secara lahir maupun batin. Dengan didasari ayat-ayat
al-Qur‘an al-Karim dan Sunnah Nabi-Nya serta pengalaman pribadi, para Ulama‘
sejati tersebut mengajarkan Tawasul sebagai jalan untuk memasuki fasilitas
ibadah yang dibentangkan Allah . Secara lahir Tawasul tersebut dilaksanakan
untuk menyamakan amal ibadah lahir yang dilaksanakan oleh murid dengan gurunya.
Sedangkan secara batin untuk melaksanakan interaksi ruhaniah antara murid
dengan para guru-guru mursyidnya baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
wasilah(perantara) agar
Allah mengampunkan doanya.
1. Syaikh
Abu Saif Al- Hammami, salah seorang ulama al Azhar menyatakan bahwa terdapat
sekelompok ( di Indonesia juga ada ? ) yang mengatakan bahwa
tawassul Hukumnya Musyrik, membawa kekafiran dan karenanya maka orang yang
tawassul dengan Nabi dan para Wali Allah telah menjadi halal darahnya.
Selanjutnya
ulama Al Azhar itu menegaskan bahwa orang yang bertawassul itu sama sekali
tidak beri'tqad bahwa terlintas dalam hatinyapun tidak bahwa para
Nabi dan wali yang ditawasuli itulah tempat mereka memohon. Tetapi hanya
Allahlah tempat meminta, hanya Allah belaka yang mengabulkan permohonan.
Demikianlah
sesungguhnya keyakinan yang ada dalam benak hati orang – orang yang tawassul,
siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
2. Kalau
kita mau membaca diri sendiri, maka akan mengetahui bahwa diri kita ini penuh
dosa, maksiat dan kedzaliman, dan ini mengakibatkan terhalangnya pengabulan
pengabdian kita, dan karena do'a itu termasuk pengabdian ( ibadah) maka do'a
pun akan tidak terkabulkan karena Allah berfirman:
"Sesungguhnya
Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa" (
Q.S.al Maidah : 27 ).
Oleh
karena itu maka selayaknya jika dalam mengunjukkan permohonan itu memakai perantara
orang – orang yang dekat kepada Allah, para Nabi dan Waliyullah,
ulama dan shalihin, sebab merekalah orang – orang yang paling berhak memperoleh
kenikmatan dari Allah dan permohonannya selalu dikabulkan.
3. Dengan
begitu maka sesungguhnya tawassul adalah salah atu yang lebih etis / sopan
serta luwes dalam mengunjukkan sesuatu permohonan kepada Allah, Dzat Yang Maha
Suci dan Maha Agung itu.
4. Allah
adalah Maha Pengasih, Murah dan Maha Pengabul Permohonan. Itu adalah Allah.
Sedang kita selaku makhluk, sudah barang tentu mempunyai aturan,
sopan santun dan tatakrama sendiri dalam upaya mendapatkan kemurahan
tersebut. Memanglah kesopanan dan tatakrama hanya dilakukan oleh orang yang mau
sopan, tahu adab dan tidak sombong.
5. Dalam
kenyataanya hampir seluruh anugerah Allah yang dicurahkan kepada para makhluk
itu mesti dengan perantaraan sesuatu.
Obat
menjadi perantara datangnya kesembuhan. Ulama/ Guru menjadi wasilah datangnya rizki
Allah dan lain – lain. Semua itu sebagai wasilah, sedang sumber
pertamanya adalah Allah. Demikian pula dalam masalah do'a anugerah Allah yang
wujudnya keterkabulan itu datangnya dengan wasilah para Nabi,Ulama'
,Shalihin. Kita semua tahu bahwa yang didekati adalah (diziarahi) adalah
para kekasih Allah, oleh karena itu hukum wasilah adalah boleh,diperintahkan
agama sebagaimana firman Allah diatas. Apabila kita sudah mengerti duduk
persoalannya, tidaklah benar orang yang mengatakan bahwa tawassul itu adalah
musyrik
Allah
berfirman :
"
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang
yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira
di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada
perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah
kemenangan yang besar ' (Q.S.Yunus : 62 -64 ).
Kecintaan
Allah terhadap mereka ditegaskan dalam Al Qur'an:
`"
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya " ( Q.S.an Nisa':
69 )
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1. Apa
Pengertian Tawassul?
2. dasar
dasar hukum Tawassul?
3. Contoh
tawassul dalam tasawuf
4. Bagaimana
pandangan ulama tentang Tawassul?
5. Tujuan
Dan Manfaat Tawassul?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk Memahami pengertian Tawassul
2.
Untuk mengetahui apa Dasar – Dasar Hukum
Tawassul
3.
Untuk mengetahui apa Contoh tawassul yang
Boleh Dan tidak diperbolehkan dalam
tasawuf
4.
Untuk mengetahui Dalil Tentang Tawassul
5.
Untuk mengetahui Tujuan dan
Manfaat Tawassul
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat
Penulisan dalam makalah ini adalah:
·
Menambah wawasan penulis dan pembaca
·
Menambahkan Ketakwaan pada Allah SWT
·
Memberi informasi kepada
pembaca tentang Tawassul
·
Memberi informasi guna memperbaiki
akhlak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TAWASSUL
Tawassul
atau wasilah adalah dua kata yang secara bahasa memiliki arti yang sama. Kata
tawassul diambil dari kata; توسل – يتوسل – توسلا Apabila seseorang
melakukan suatu amal untuk mendekatkan dirinya dengan amal tersebut kepada
siapa yang dimaksud. Sedang kata wasilah diambil dari kata:
وسل – يسل – وسلا Apabila seseorang melakukan upaya pendekatan karena suatu keinginan
وسل – يسل – وسلا Apabila seseorang melakukan upaya pendekatan karena suatu keinginan
Tawassul menurut kamus Arab
Indonesia, berasal dari kata wasala artinya berbuat kebaikan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Tawasul maknanya mengambil wasilah atau perantara. [1]Adapun
yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah mencari jalan atau cara yang
mendekatkan diri kepada Allah. Caranya dengan melipat gandakan amal
ibadah dan berjihad di jalan Allah untuk keberuntungannya di dunia dan akhirat
kelak. Dengan bertawasul sebagaimana QS Al Maidah [5]:35, QS Al Isra [17]:57,
berarti ia telah memenuhi perintah Allah.[2]
Pada era modern ini tawassul sering
dikaitkan dengan syirik yang bermakna menyekutukan Allah. Ibn Taimiyah (1263-1328)
dalam kitab karangannya "Al Mujizatu wa Karamtul Auliya" ( Mujizat
Nabi dan Karamah Wali), menjelaskan pembahasan yang singkat tentang mukjizat
dan keramat. Sesungguhnya tidak ada hubungan timbal balik antara kewalian
dengan khawariqatul adat (hal-hal yang luar biasa). Jadi, tidak setiap wali itu
menunjukkan hal-hal yang aneh. Sebaliknya, tidak pula hal yang luar biasa
yang terjadi pada seseorang membuatnya otomatis menjadi wali Adapun doa
termasuk ibadah. Menurut Ibn Taymiyyah, barang siapa berdoa kepada mahluk yang
sudah mati dan mahluk-mahluk lain yang gaib serta meminta pertolongannya,
berarti ia telah bid'ah dalam perkara agama. Mempersekutukan Tuhan seluruh
alam, dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin.
Hanya saja masalah sekarang yang timbul
adalah masalah mendekatkan diri kepada Allah melalui para wali yang
saleh. Ibn Taymiyyah merupakan salah seorang tokoh fundamental dan
merupakan pendahulu gerakan Wahabiyyah. Nama gerakan Wahabiyyah sesuai dengan
gerakan pendirinya Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1703 - 1787) 5).[3]
Kalangan Wahhabi memandang sejumlah amalan generasi setelahnya generasi sahabat
sebagai bid'ah (menyimpang) termasuk diantaranya, membangun menara dan
pemberian tanda permanen di atas makam. Paham Wahhabi juga menolak seluruh
ajaran essoteris (bathiniyah) atau ajaran mistisisme dan menolak gagasan orang
suci (wali), termasuk juga praktek mengunjungi makamnya. Praktek memanggil wali
untuk mendapatkan berkah adalah praktek syirik. Mereka menolak seluruh anggapan
kesucian (kekeramatan) barang atau tempat tertentu sebagai tindakan yang mengurangi
kesucian Tuhan dan menyalahi ajaran tauhid.[4]
Allah berfirman: artinya: “Hai
orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan
diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan”. Q.S. Al Maidah: 35.
B.
DASAR
HUKUM
Adapun secara naqliyah dalil-dalilnya,
termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim: Pertama: Surat al-Ma'idah ayat
35;
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmø‹s9Î) s's#‹Å™uqø9$# (#r߉Îg»y_ur ’Îû ¾Ï&Î#‹Î6y™ öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ
―Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepadaNya". (QS.al-Ma‘dah: 5/35)
Kedua: Surat at-Taubah ayat 119; 30
TAWASUL - Mencari Allah dan Rasul Lewat Jalan Guru
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB šúüÏ%ω»¢Á9$# ÇÊÊÒÈ
―Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama
orang-orang yang Shiddiq‖. (QS.at-Taubah: 9/119)
Ketiga: Surat al-Baqoroh ayat 43;
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
―Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama sama orang-orang yang
ruku'‖ (QS.al-Baqoroh: 2/43)
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa
Tawasul adalah perintah Allah bagi orang
yang percaya (beriman), supaya ibadah yang sedang mereka jalankan dapat
dilakukan dengan khusyu. Orang yang ibadah tersebut dapat lebih terfasilitasi
untuk wushul kepada-Nya, do‘a-do‘a yang mereka panjatkan lebih mendekati kepada
terbukanya pintu ijabah. Bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih yang
menolak, maka tawasul itu tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa baginya.
Meskipun tawasul merupakan perintah
Allah, akan tetapi keadaannya bisa menjadi lain ketika makna tawasul itu
dianggap oleh orang yang tidak memahami rahasia bertawasul sebagai pemberian
penghormatan kepada orang lain. Dengan pandangan seperti itu menjadi maklum ketika
kemudian kebanyakan nafsu manusia menolak melakukannya, bahkan mereka menuduh
orang yang bertawasul itu telah mengkultus individukan orang yang ditawasuli.
Terlebih bagi orang yang memang sebelumnya telah mempunyai benih penyakit
kepada orang yang harus ditawasuli tersebut. Barangkali seperti itulah keadaan
orang yang menolak melaksanakan tawasul kepada orang lain.
Sesungguhnya bagi orang yang di dalam
hatinya ada penyakit hasut kepada orang lain, sebelum penyakit itu terlebih
dahulu mampu dihilangkan, jangankan pelaksanaan tawasul, alQur‘an sekalipun,
yang di dalamnya ada obat penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, bagi
orang yang hatinya hasut tersebut, sedikitpun alQur‘an itu tidak dapat membawa
kemanfaatan, bahkan hanya akan menambah kerugian bagi mereka. Allah I
telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
―Dan
Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan alQur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang dzalim selain kerugian. - Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada
manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong;
dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. - Katakanlah:
"Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya‖.
(QS.alIsra‘; 17/82-83)
Hal itu disebabkan, karena rahmat dan
obat yang ada dalam alQur‘an tersebut terlebih dahulu telah ditolak oleh
hatinya sendiri. Kesembuhan yang didatangkan untuk jiwanya tidak sampai karena
jalan kesembuhan itu telah tersumbat oleh kesombongan hatinya sendiri. Itulah
orang yang menzalimi dirinya sendiri. Mereka selalu terlewatkan dari kesempatan
mendapatkan keutamaan yang didatangkan Allah untuk dirinya sendiri akibat sikap
dan peri laku yang mereka perbuat sendiri sehingga hidup mereka menjadi merugi.
C.
Contoh
Tawasul Dalam Tasawuf
1. Tawassul dengan
nama-nama, sifat-sifat, perbuatan serta ilmu Allah. Hal itu berdasar pada
firman Allah dalam surat al-A'raf ayat 80, sebagai berikut;
ولله
الأسماء الحسنى فادعوه بها
Artinya:
Hanya milik Allah Asma al-Husna,
maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-Husna
Rasulullah
juga pernah menjelaskan sebagai berikut:
اللهم
بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق احييني ما علمت الحياة خيرا لي
Artinya:
"Ya Allah dengan pengetahuan-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas
segenap makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih
baik bagiku"
2. Tawassul kepada
Allah dengan jalan beriman kepada-Nya dan taat kepada-Nya, seperti firman Allah
yang menjelaskan tentang ulul al-bab:
Artinya:
Ya Tuhan kami, sungguh kami mendengar
(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kalian kepada
Tuhan kalian," maka kami pun beriman. Ya tuhan kami, ampunilah dosa-dosa
kami… (Ali-Imran ayat 93)
Dalam
ayat itu orang-orang memohon ampunan kepada Allah dengan wasilah atau media
keimanan mereka. Yakni dengan keimanan mereka itu diharapkan Allah berkenan
mengampuni dosa-dosa mereka. Penjelasan yang sama dapat dilihat pada surat Ali
Imran ayat 53 dan al-Mukminun ayat 109.
3. Tawassul kepada
Allah dengan jalan berdoa menyebut dengan jelas kesulitan-kesulitan dan
hajatnya.
Hal
itu sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa ketika memohon kepada Allah. Seperti
dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat al-Qashash ayat 24 sebagai berikut:
Artinya:
… Ya Tuhanku, sungguh aku memerlukan
suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
4. Tawasul kepada
Allah melalui doa orang yang diharapkan dapat makbul, seperti halnya shahabat
meminta Nabi saw. berdoa untuk mereka.[5] Jadi
seseorang meminta kepada orang lain untuk mendoakannya agar apa yang
diharapkannya dapat dikabulkan oleh Allah. Karena seseorang itu dianggap
sebagai sosok yang shalih yang dekat kepada Allah. Tawassul pada
jenis terakhir ini tentu saja hanya bisa dilakukan ketika seseorang itu masih
hidup. Karena setelah orang itu mati tidak lagi dapat memanjatkan doa, bahkan untuk
dirinya sendiri.[6]
D.
PANDANGAN
ISLAM TENTANG TAWASSUL
a. Pandangan Ulama Madzhab
Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah
Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau
bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau
qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari
(Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah,
sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu
syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).
Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin
Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama
Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab
:"Syafii ibarat mata bagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan
kita"
Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya yang artinya:
"Keluarga nabi
adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui
mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan
kananku"
b.
Pandangan
Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau
memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu
yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para
ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari
perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul
adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)
c. Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh
Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi
Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal.
Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad
SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang
artinya:
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)
d.
Pandangan
Imam Syaukani
Beliau
mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang
lain ( orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah
meninggal adalah merupakan ijma’ para shohabat.
e.
Pandangan
Muhammad Bin Abdul Wahab.
Beliau
melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan
tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam
surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau
menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh.,
dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI
dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini
adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan
kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan
surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul
Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad
bagian ketiga hal 68
E.
Tujuan
Dan Manfaat
1. Bertawassul,
adalah menerima kenyataan yang Sebenarnya dan, hal ini,
merupakan kewajiban bagi orang berakal dan, apalagi beragama. Yakni menerima
kenyataan bahwa ada yang lebih dekat kepada Ridha Allah
dari pada kita.
2. Bertawassul
berarti mengimani jalan kebenaran -agama- yang ditempuh
oleh yang ditawassuli dan, ini jelas keimanan pada Allah itu sendiri
dan ajaran serta agamaNya.
3. Bertawassul
berarti bertawadhu kepada Allah, karena kita disuruhNya untuk
menyintai wali-wali dan nabi2 Nya yang Ia cintai. Jadi,
tawassul yang berupa ketawadhuan kepada yang ditawassuli, Sebenarnya berakhir
pada kerendahan diri pada Allah itu sendiri.
4. Bertawassul
berarti menyintai yang dicintai Allah dan, hal ini, jelas
akan dapat memancing keRidhaan dan AmpunanNya. Karena itulah Ia sendiri
mengatakan dalam QS: 4: 64:
"Seandarinya mereka melakukan dosa (menganiaya diri), lalu datang kepadamu -Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapatkan Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Kasih pasti meneriman taubat mereka dan mengampuni mereka)."
Memang, meminta ampun kepada Allah, dimanapun dan kapanpun bisa jadi. tapi meminta ampun dalam keadaan dekat dengan Nabi saww, baik dikala hidup atau wafat beliau saww (di makam beliau saww), sudah pasti memiliki dimensi tersendiri, yaitu kepastian akan ampuanNya. Tentu dengan syafaat Nabi saww, karena itu dikatakan "...dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka...".
5. Bertawassul
berarti bertawadhu kepada Nabi saw dan Ahlulbait as. Dan ini kewajiban kita
sesama makhluk.
6. Bertawassul,
berarti mengikuti dan menaati Nabi saw dan Allah itu sendiri, karena Allah dan
NabiNya saw, mengajarkan hal tsb. sampai-sampai nabi Adampun as
diberikan nama-nama mereka as dan bertawssul dengan mereka
as. Dan karena itulah Tuhan jelas memerintahkan kita untuk bertawassul ini, seperti dalam QS:
5: 35:
"Wahai orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan bertawssullah untuk menujuNya (ridha dan ampunanNya)!!"
7. Bertawssul
berarti kita mengagumi para wali dan nabi as dan menyintai mereka dimana akan
memberikan efek meniru ketakwaan mereka yang bersumber dari kegaguman
itu.
8. Bertawassul,
berarti tidak menganggap ruh para wali dan nabi as itu,
mati seperti anggapan
wahabi yang materialis tapi aneh dalam setiap
shalat mengucapSalam kepada Nabi saww dan kalau lewat dikuburan muslimin
mengucap Salam kepada ahlulkubur.
9. Bertawassul berati, ingin selalu
dekat dengan yang ditawassuli itu. Hingga demikian, kita akan
tersedot ke alam makna dan tidak hanyut dengan dunia.
10. Bertawassul
berarti mengetahui sejarah yang ditawassuli dan karenanya akan
membuahkan keyakinan terhadap Islam yang kita warisi dari mereka.
11. Bertwassul,berarti tidak menyukai yang tidak disukaioleh yang
ditawassuli, baik perbuatan maksiat atau
musuh - musuh Tuhan dengan berbagai
bajunya. Hal inilahyang disbut dengan "Tawalli dan
Tabarri", yakni "Berwilayah dan Berlepas diri". Artinya
berwilayah kepada yang hak dan yang shiraatalmustaqim alias
maksum dan berlepas diri dari musuh- musus mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal
sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga
tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas.
Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia
disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap
kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang
sholeh.
B.
Saran
Saran
yang dapat saya sampaikan melalui makalah ini yaitu
· Semoga
karya ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
· Kepada
pembaca, penulis menganjurkan agar biasa mempelajari, memahami sidari makalah
ini dengan sebaik-baiknya.
· Semoga
dengan adanya makalah ini kita bisa memahami Tawassul dalam tasawuf lebih
mendalam.
· Kepada
pembaca diharapkan bisa mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud. 1989. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah
W.
Al Hafidz, Ahsin. 2005. Kamus Ilmu Al Quran. Wonosobo: Universitas Sains Al Quran
Taimiyah,
Ibn. 2003. Mukjizat Nabi dan Keramat Wali(Asli : Al Mujizatu Wa Karamatu al
Auliya). Jakarta : Penerbit PT. Lentera Basri Tama
Glasse,
Cyril. 1996. Ensiklopedi Islam. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada
Shalih bin fauzan. 1998. kitab tauhid. Akafa press, jakarta.
Muhammad bin Abdul Wahab. 1969. Kitab al-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqq Allah
'ala al-'Abid (Beirut: Dar al-Arabiyah,), h. 100.
Thalib. 2003. Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci. (Jogjakarta: Media
Hidayah,) h. 53-55.
![]() |
[1] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Mahmud Yunus
Wa Dzurriyyah , Jakarta, 1989
[2] Ahsin W. Al Hafidz, Kamus
Ilmu Al Quran, Universitas Sains Al Quran, Wonosobo, 2005.
[3] Ibn Taimiyah, Mukjizat Nabi dan Keramat Wali(Asli : Al
Mujizatu Wa Karamatu al Auliya), Penerbit PT. Lentera Basri Tama, Jakarta, 2003
[4] Ibn Taimiyah, Qaidah Jalilah Fi Al Tawassul wa al Wasilah,
Dar Alfaq al -Jadidah, Beirut-Libanon. Hal. 100.
[5]
Muhammad
bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid
al-Ladzi Huwa Haqq Allah 'ala al-'Abid (Beirut: Daral-Arabiyah, 1969),
h. 100.
[6] Khalid al-Juraisy, Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Alih
Bahasa: Muhammad Thalib, Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah
Suci (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), h. 53-55