Wednesday, September 23, 2015

ilmu tawassul



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang Tawassul. Secara umumnya tawassul berarti mengambil sesuatu sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan perantara untuk mendapat keridhaannya.Tawassul biasanya berkait dengan doa, dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara supaya doanya dikabulkan oleh Allah SWT.
Sungguhpun ukuran ketakwaan hati seorang hamba hanya Allah yang dapat mengetahui, tetapi seorang hamba wajib berusaha mencapai dengan semampunya. Oleh karena itu, ibadah itu harus dilaksanakan dengan benar dan ikhlas semata-mata karena Allah Hanya mengharapkan ridlaNya. Artinya dilaksanakan secara utuh dan total, baik lahir maupun batin, semata-mata sebagai perwujudan pengabdian yang hakiki kepadaNya. Ibadah juga merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya, untuk mencurahkan kerinduan yang membara, melahirkan rasa syukur atas segala kenikmatan dan anugerah yang sudah diterima, memohon ampun atas segala dosa dan bertaubat dengan taubatan nasuha. Secara lahiriah ibadah itu dilaksanakan dengan menyatukan antara dua indera lahir, yaitu kemauan emosional dan kemampuan rasional yang di dalam istilah agama disebut bashoro, dan secara batiniah dilaksanakan dengan indera batin, yakni dengan pancaran spiritual yang disebut bashiroh. Secara qudroti, ketiga indera tersebut merupakan perangkat (instrumen) kehidupan manusia yang sesungguhnya memiliki pancaran kehidupan yang berbeda serta sulit dipersatukan, namun dengan pengendalian kekuatan rasional dan didukung penguasaan ilmu pengetahuan secara tepat dan benar serta latihan yang terbimbing, masing-masing perangkat tersebut harus menjadi satu dan menyatu di dalam pelaksanaan sebuah ibadah.
Manakala ketiga perangkat kehidupan manusia yang disebutkan di atas (emosionalitas, rasionalitas dan spiritualitas) tidak dapat disatukan dalam kesatuan ibadah yang sedang dilakukan, maka bisa jadi salah satunya atau bahkan ketiga-tiganya akan dijadikan sarana setan untuk masuk ke dalam hati seorang hamba, dengan sarana tersebut setan bisa membelokkan arah dan tujuan ibadah. Untuk mencapai tujuan tersebut para Ulama‘ ahlinya, sebagai guru-guru ruhaniah (Mursyid), mengajarkan para murid-murid dan para salik di jalan Allah  untuk melaksanakan Tawasul, baik secara lahir maupun batin. Dengan didasari ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim dan Sunnah Nabi-Nya serta pengalaman pribadi, para Ulama‘ sejati tersebut mengajarkan Tawasul sebagai jalan untuk memasuki fasilitas ibadah yang dibentangkan Allah . Secara lahir Tawasul tersebut dilaksanakan untuk menyamakan amal ibadah lahir yang dilaksanakan oleh murid dengan gurunya. Sedangkan secara batin untuk melaksanakan interaksi ruhaniah antara murid dengan para guru-guru mursyidnya baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
wasilah(perantara) agar Allah mengampunkan doanya.
1.      Syaikh Abu Saif Al- Hammami, salah seorang ulama al Azhar menyatakan bahwa terdapat sekelompok  ( di Indonesia juga ada ? ) yang mengatakan bahwa tawassul Hukumnya Musyrik, membawa kekafiran dan karenanya maka orang yang tawassul dengan Nabi dan para Wali Allah telah menjadi halal darahnya.
Selanjutnya ulama Al Azhar itu menegaskan bahwa orang yang bertawassul itu sama sekali tidak beri'tqad bahwa terlintas dalam  hatinyapun tidak bahwa para Nabi dan wali yang ditawasuli itulah tempat mereka memohon. Tetapi hanya Allahlah tempat meminta, hanya Allah belaka yang mengabulkan permohonan.
Demikianlah sesungguhnya keyakinan yang ada dalam benak hati orang – orang yang tawassul, siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
2.      Kalau kita mau membaca diri sendiri, maka akan mengetahui bahwa diri kita ini penuh dosa, maksiat dan kedzaliman, dan ini mengakibatkan terhalangnya pengabulan pengabdian kita, dan karena do'a itu termasuk pengabdian ( ibadah) maka do'a pun akan tidak terkabulkan karena Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa" ( Q.S.al Maidah : 27 ).
Oleh karena itu maka selayaknya jika dalam mengunjukkan permohonan itu memakai perantara orang – orang  yang dekat kepada Allah, para Nabi dan Waliyullah, ulama dan shalihin, sebab merekalah orang – orang yang paling berhak memperoleh kenikmatan dari Allah dan permohonannya selalu dikabulkan.
3.      Dengan begitu maka sesungguhnya tawassul adalah salah atu yang lebih etis / sopan serta luwes dalam mengunjukkan sesuatu permohonan kepada Allah, Dzat Yang Maha Suci dan Maha Agung itu.
4.      Allah adalah Maha Pengasih, Murah dan Maha Pengabul Permohonan. Itu adalah Allah. Sedang kita selaku makhluk, sudah barang tentu mempunyai aturan, sopan  santun dan tatakrama sendiri dalam upaya mendapatkan kemurahan tersebut. Memanglah kesopanan dan tatakrama hanya dilakukan oleh orang yang mau sopan, tahu adab dan tidak sombong.
5.      Dalam kenyataanya hampir seluruh anugerah Allah yang dicurahkan kepada para makhluk itu mesti dengan perantaraan sesuatu.
Obat menjadi perantara datangnya kesembuhan. Ulama/ Guru menjadi wasilah datangnya rizki Allah dan lain – lain. Semua itu  sebagai wasilah, sedang sumber pertamanya adalah Allah. Demikian pula dalam masalah do'a anugerah Allah yang wujudnya keterkabulan itu datangnya dengan wasilah para Nabi,Ulama' ,Shalihin. Kita semua tahu bahwa yang didekati adalah (diziarahi) adalah para kekasih Allah, oleh karena itu hukum wasilah adalah boleh,diperintahkan agama sebagaimana firman Allah diatas. Apabila kita sudah mengerti duduk persoalannya, tidaklah benar orang yang mengatakan bahwa tawassul itu adalah musyrik
Allah berfirman :
" Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.  (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.  Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar ' (Q.S.Yunus : 62 -64 ).
       Kecintaan Allah terhadap mereka ditegaskan dalam Al Qur'an:
`" Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya " ( Q.S.an Nisa': 69 )

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Tawassul?
2.      dasar dasar hukum Tawassul?
3.      Contoh tawassul dalam tasawuf
4.      Bagaimana pandangan ulama tentang Tawassul?
5.      Tujuan Dan Manfaat Tawassul?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.            Untuk Memahami pengertian Tawassul
2.            Untuk mengetahui apa Dasar – Dasar Hukum Tawassul
3.            Untuk mengetahui apa Contoh tawassul yang Boleh  Dan tidak diperbolehkan dalam tasawuf
4.            Untuk mengetahui Dalil Tentang Tawassul
5.            Untuk mengetahui  Tujuan dan Manfaat Tawassul

D.      Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan  dalam makalah ini adalah:
·         Menambah wawasan penulis dan pembaca
·         Menambahkan Ketakwaan pada Allah SWT
·         Memberi informasi kepada pembaca tentang Tawassul
·         Memberi informasi guna memperbaiki akhlak






















BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN TAWASSUL
Tawassul atau wasilah adalah dua kata yang secara bahasa memiliki arti yang sama. Kata tawassul diambil dari kata; توسل – يتوسل – توسلا  Apabila seseorang melakukan suatu amal untuk mendekatkan dirinya dengan amal tersebut kepada siapa yang dimaksud. Sedang kata wasilah diambil dari kata:
 وسل – يسل – وسلا Apabila seseorang melakukan upaya pendekatan karena suatu keinginan
Tawassul  menurut kamus Arab Indonesia, berasal dari kata wasala artinya berbuat kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tawasul maknanya mengambil wasilah atau perantara. [1]Adapun yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah mencari jalan atau cara yang mendekatkan diri kepada Allah.  Caranya dengan melipat gandakan amal ibadah dan berjihad di jalan Allah untuk keberuntungannya di dunia dan akhirat kelak. Dengan bertawasul sebagaimana QS Al Maidah [5]:35, QS Al Isra [17]:57, berarti ia telah memenuhi perintah Allah.[2]
Pada era modern ini tawassul sering dikaitkan dengan syirik yang bermakna menyekutukan Allah.  Ibn Taimiyah (1263-1328) dalam kitab karangannya "Al Mujizatu wa Karamtul Auliya" ( Mujizat Nabi dan Karamah Wali), menjelaskan pembahasan yang singkat tentang mukjizat dan keramat. Sesungguhnya tidak ada hubungan timbal balik antara kewalian dengan khawariqatul adat (hal-hal yang luar biasa). Jadi, tidak setiap wali itu menunjukkan  hal-hal yang aneh. Sebaliknya, tidak pula hal yang luar biasa yang terjadi pada seseorang membuatnya otomatis menjadi wali Adapun doa termasuk ibadah. Menurut Ibn Taymiyyah, barang siapa berdoa kepada mahluk yang sudah mati dan mahluk-mahluk lain yang gaib serta meminta pertolongannya, berarti ia telah bid'ah dalam perkara agama. Mempersekutukan Tuhan seluruh alam, dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin.
Hanya saja masalah sekarang yang timbul adalah masalah mendekatkan diri kepada Allah melalui para wali yang saleh.  Ibn Taymiyyah merupakan salah seorang tokoh fundamental  dan merupakan pendahulu gerakan Wahabiyyah. Nama gerakan Wahabiyyah sesuai dengan gerakan pendirinya  Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1703 - 1787) 5).[3] Kalangan Wahhabi memandang sejumlah amalan generasi setelahnya generasi sahabat sebagai bid'ah (menyimpang) termasuk diantaranya, membangun menara dan pemberian tanda permanen di atas makam. Paham Wahhabi juga menolak seluruh ajaran essoteris (bathiniyah) atau ajaran mistisisme dan menolak gagasan orang suci (wali), termasuk juga praktek mengunjungi makamnya. Praktek memanggil wali untuk mendapatkan berkah adalah praktek syirik. Mereka menolak seluruh anggapan kesucian (kekeramatan) barang atau tempat tertentu sebagai tindakan yang mengurangi kesucian Tuhan dan menyalahi ajaran tauhid.[4]
Allah berfirman: artinya: “Hai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Q.S. Al Maidah: 35.

B.       DASAR HUKUM
Adapun secara naqliyah dalil-dalilnya, termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim: Pertama: Surat al-Ma'idah ayat 35;
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmøs9Î) s's#Åuqø9$# (#rßÎg»y_ur Îû ¾Ï&Î#Î6y öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ  

―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya". (QS.al-Ma‘dah: 5/35)
Kedua: Surat at-Taubah ayat 119; 30 TAWASUL - Mencari Allah dan Rasul Lewat Jalan Guru
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÊÊÒÈ  
―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang Shiddiq‖. (QS.at-Taubah: 9/119)
Ketiga: Surat al-Baqoroh ayat 43;
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama sama orang-orang yang ruku'‖ (QS.al-Baqoroh: 2/43)
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa Tawasul adalah perintah Allah  bagi orang yang percaya (beriman), supaya ibadah yang sedang mereka jalankan dapat dilakukan dengan khusyu. Orang yang ibadah tersebut dapat lebih terfasilitasi untuk wushul kepada-Nya, do‘a-do‘a yang mereka panjatkan lebih mendekati kepada terbukanya pintu ijabah. Bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih yang menolak, maka tawasul itu tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa baginya.
Meskipun tawasul merupakan perintah Allah, akan tetapi keadaannya bisa menjadi lain ketika makna tawasul itu dianggap oleh orang yang tidak memahami rahasia bertawasul sebagai pemberian penghormatan kepada orang lain. Dengan pandangan seperti itu menjadi maklum ketika kemudian kebanyakan nafsu manusia menolak melakukannya, bahkan mereka menuduh orang yang bertawasul itu telah mengkultus individukan orang yang ditawasuli. Terlebih bagi orang yang memang sebelumnya telah mempunyai benih penyakit kepada orang yang harus ditawasuli tersebut. Barangkali seperti itulah keadaan orang yang menolak melaksanakan tawasul kepada orang lain.
Sesungguhnya bagi orang yang di dalam hatinya ada penyakit hasut kepada orang lain, sebelum penyakit itu terlebih dahulu mampu dihilangkan, jangankan pelaksanaan tawasul, alQur‘an sekalipun, yang di dalamnya ada obat penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, bagi orang yang hatinya hasut tersebut, sedikitpun alQur‘an itu tidak dapat membawa kemanfaatan, bahkan hanya akan menambah kerugian bagi mereka. Allah I telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
―Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan alQur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian. - Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. - Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya‖. (QS.alIsra‘; 17/82-83)
Hal itu disebabkan, karena rahmat dan obat yang ada dalam alQur‘an tersebut terlebih dahulu telah ditolak oleh hatinya sendiri. Kesembuhan yang didatangkan untuk jiwanya tidak sampai karena jalan kesembuhan itu telah tersumbat oleh kesombongan hatinya sendiri. Itulah orang yang menzalimi dirinya sendiri. Mereka selalu terlewatkan dari kesempatan mendapatkan keutamaan yang didatangkan Allah untuk dirinya sendiri akibat sikap dan peri laku yang mereka perbuat sendiri sehingga hidup mereka menjadi merugi.
C.      Contoh Tawasul Dalam Tasawuf
1.      Tawassul dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan serta ilmu Allah. Hal itu berdasar pada firman Allah dalam surat al-A'raf ayat 80, sebagai berikut;
ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها                                
Artinya: Hanya milik Allah Asma al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-Husna
Rasulullah juga pernah menjelaskan sebagai berikut:
اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق احييني ما علمت الحياة خيرا لي
Artinya: "Ya Allah dengan pengetahuan-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas segenap makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku"
2.      Tawassul kepada Allah dengan jalan beriman kepada-Nya dan taat kepada-Nya, seperti firman Allah yang menjelaskan tentang ulul al-bab:
Artinya: Ya Tuhan kami, sungguh kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian," maka kami pun beriman. Ya tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami… (Ali-Imran ayat 93)
Dalam ayat itu orang-orang memohon ampunan kepada Allah dengan wasilah atau media keimanan mereka. Yakni dengan keimanan mereka itu diharapkan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa mereka. Penjelasan yang sama dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 53 dan al-Mukminun ayat 109.
3.      Tawassul kepada Allah dengan jalan berdoa menyebut dengan jelas kesulitan-kesulitan dan hajatnya.
Hal itu sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa ketika memohon kepada Allah. Seperti dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat al-Qashash ayat 24 sebagai berikut:
Artinya: … Ya Tuhanku, sungguh aku memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
4.      Tawasul kepada Allah melalui doa orang yang diharapkan dapat makbul, seperti halnya shahabat meminta Nabi saw. berdoa untuk mereka.[5] Jadi seseorang meminta kepada orang lain untuk mendoakannya agar apa yang diharapkannya dapat dikabulkan oleh Allah. Karena seseorang itu dianggap sebagai sosok yang shalih yang dekat kepada Allah. Tawassul pada jenis terakhir ini tentu saja hanya bisa dilakukan ketika seseorang itu masih hidup. Karena setelah orang itu mati tidak lagi dapat memanjatkan doa, bahkan untuk dirinya sendiri.[6]

D.      PANDANGAN ISLAM TENTANG TAWASSUL
a.      Pandangan Ulama Madzhab
Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).
Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat mata bagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya yang artinya:
"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku"

b.      Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah  adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta  kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom  hal 160)

c.       Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang artinya:
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

d.      Pandangan Imam Syaukani
Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain ( orang sholeh),  baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal  adalah merupakan ijma’ para shohabat.

e.       Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab.
Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud  Riyad  bagian ketiga  hal 68

E.       Tujuan Dan Manfaat
1.      Bertawassul, adalah menerima kenyataan yang Sebenarnya dan, hal ini, merupakan kewajiban bagi orang berakal dan, apalagi beragama. Yakni menerima kenyataan bahwa ada yang lebih dekat kepada Ridha Allah dari pada kita.
2.      Bertawassul berarti mengimani jalan kebenaran -agama- yang ditempuh oleh yang ditawassuli dan, ini jelas keimanan pada Allah itu sendiri dan ajaran serta agamaNya.
3.      Bertawassul berarti bertawadhu kepada Allah, karena kita disuruhNya untuk menyintai wali-wali dan nabi2 Nya yang Ia cintai. Jadi, tawassul yang berupa ketawadhuan kepada yang ditawassuli, Sebenarnya berakhir pada kerendahan diri pada Allah itu sendiri.
4.      Bertawassul berarti menyintai yang dicintai Allah dan, hal ini, jelas akan dapat memancing keRidhaan dan AmpunanNya. Karena itulah Ia sendiri mengatakan dalam QS: 4: 64:

"Seandarinya mereka melakukan dosa (menganiaya diri), lalu datang kepadamu -Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapatkan Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Kasih pasti meneriman taubat mereka dan mengampuni mereka)."
Memang, meminta ampun kepada Allah, dimanapun dan kapanpun bisa jadi. tapi meminta ampun dalam keadaan dekat dengan Nabi saww, baik dikala hidup atau wafat beliau saww (di makam beliau saww), sudah pasti memiliki dimensi tersendiri, yaitu kepastian akan ampuanNya. Tentu dengan syafaat Nabi saww, karena itu dikatakan "...dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka...".
5.      Bertawassul berarti bertawadhu kepada Nabi saw dan Ahlulbait as. Dan ini kewajiban kita sesama makhluk.
6.      Bertawassul, berarti mengikuti dan menaati Nabi saw dan Allah itu sendiri, karena Allah dan NabiNya saw, mengajarkan hal tsb. sampai-sampai nabi Adampun as diberikan nama-nama mereka as dan bertawssul dengan mereka as. Dan karena itulah Tuhan jelas memerintahkan kita untuk bertawassul ini, seperti dalam QS: 5: 35:

"Wahai orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan bertawssullah untuk menujuNya (ridha dan ampunanNya)!!"
7.      Bertawssul berarti kita mengagumi para wali dan nabi as dan menyintai mereka dimana akan memberikan efek meniru ketakwaan mereka yang bersumber dari kegaguman itu.
8.      Bertawassul, berarti tidak menganggap ruh para wali dan nabi as itu, mati seperti anggapan wahabi yang materialis tapi aneh dalam setiap shalat mengucapSalam kepada Nabi saww dan kalau lewat dikuburan muslimin mengucap Salam kepada ahlulkubur.
9.       Bertawassul berati, ingin selalu dekat dengan yang ditawassuli itu. Hingga demikian, kita akan tersedot ke alam makna dan tidak hanyut dengan dunia.
10.  Bertawassul berarti mengetahui sejarah yang ditawassuli dan karenanya akan membuahkan keyakinan terhadap Islam yang kita warisi dari mereka.
11.  Bertwassul,berarti tidak menyukai yang tidak disukaioleh yang ditawassuli,  baik perbuatan maksiat atau musuh - musuh  Tuhan dengan berbagai bajunya. Hal inilahyang disbut dengan "Tawalli dan Tabarri", yakni "Berwilayah dan Berlepas diri". Artinya berwilayah kepada yang hak dan yang shiraatalmustaqim alias maksum dan berlepas diri dari musuh- musus mereka.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

B.     Saran
Saran yang dapat saya sampaikan melalui makalah ini yaitu
·      Semoga karya ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
·      Kepada pembaca, penulis menganjurkan agar biasa mempelajari, memahami sidari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
·      Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa memahami Tawassul dalam tasawuf lebih mendalam.
·      Kepada pembaca diharapkan bisa mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari










DAFTAR PUSTAKA

 Yunus, Mahmud. 1989. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:  PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah
W. Al Hafidz, Ahsin. 2005.  Kamus Ilmu Al Quran. Wonosobo:  Universitas Sains Al Quran
Taimiyah, Ibn. 2003.  Mukjizat Nabi dan Keramat Wali(Asli : Al Mujizatu Wa Karamatu al Auliya). Jakarta : Penerbit PT. Lentera Basri Tama
Glasse, Cyril. 1996. Ensiklopedi Islam. Jakarta :  PT. Raja Grafindo Persada
Shalih bin fauzan. 1998. kitab tauhid. Akafa press, jakarta.
Muhammad bin Abdul Wahab. 1969.  Kitab al-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqq Allah 'ala al-'Abid (Beirut: Dar al-Arabiyah,), h. 100.
Thalib. 2003. Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci. (Jogjakarta: Media Hidayah,)   h. 53-55.



 


[1] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah , Jakarta, 1989
[2] Ahsin W. Al Hafidz,  Kamus Ilmu Al Quran,  Universitas Sains Al Quran, Wonosobo, 2005.
[3] Ibn Taimiyah, Mukjizat Nabi dan Keramat Wali(Asli : Al Mujizatu Wa Karamatu al Auliya), Penerbit PT. Lentera Basri Tama, Jakarta, 2003
[4] Ibn Taimiyah, Qaidah Jalilah Fi Al Tawassul wa al Wasilah, Dar Alfaq al -Jadidah, Beirut-Libanon. Hal. 100.
[5] Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqq Allah 'ala al-'Abid (Beirut: Daral-Arabiyah, 1969), h. 100.
[6] Khalid al-Juraisy, Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Alih Bahasa: Muhammad Thalib, Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), h. 53-55